Mungkin aku agak gemblung kali ya, tapi aku emang orangnya senang mengexplore sesuatu… kalo aku datang di suatu tempat, aku inginnya mengetahui atau mencoba sebanyak mungkin hal-hal yang ada didaerah tersebut… Rasanya kurang puas kalo kita datang ke satu tempat dan kita hanya berdiam saja tanpa mengexplore segala sesuatunya, baik itu daerahnya, masyarakatnya, budayanya maupun kulinernya. Apalagi ketika kita berada disuatu tempat yang mungkin hanya as soon as in a lifetime kita datanginnya seperti dipedalaman Papua ini. Berapa besar kemungkinan dalam hidup kita untuk setidaknya sekali saja datang ke pedalaman Papua?? Belum tentu satu kali seumur hidup bukan?? Itulah yang ada dalam pikiranku….makanya mumpung ada disini, ayo kita jadi Dora the Explorer….hehehe…
Mengenai makanan, ada beberapa makanan ekstrem yang kadang suka dimakan masyarakat atau anak-anak disini. Dan aku pernah mencicipi beberapa diantaranya, walaupun engga semuanya… coz, ada juga makanan yang aku ngga berani makannya…..
Berikut ini beberapa makanan “ekstrem” yang sempat aku makan :
jenis laba-laba yang aku makan adalah laba-laba hijau yang biasa hidup dipohon2. Waktu itu sebetulnya aku lagi cuci piring dibelakang rumah. Lalu dibelakang rumah aku lihat ada seorang anak kecil bernama Jigsa dan seorang temannya sedang menggala sarang laba2 yang ada di pepohonan dibelakang rumahku. Lalu aku panggil mereka dan aku tanya….
Aku : “ kat(kamu) sedang cari apa kah ?”
Jigsa : (hanya diam saja karena malu-malu…)
Aku : “ sini…coba saya lihat…” (kebetulan waktu itu mereka membawa plastik bekas bungkus mie prompt buat menampung hasil “buruan” mereka….rupanya didalamnya ada banyak laba-laba, telurnya, ada ulat dan capung juga..)
Aku : “ini untuk apa kah….untuk dimakan?”
Aku : “kalo begitu kita masak ya?”
Jigsa : (tidak menjawab, hanya tersenyum malu-malu…tapi bahasa tubuhnya menandakan kalau dia senang dan setuju…)
Laba-laba dan kawan-kawannya Akhirnya aku keluarkan alat masak dan kamipun mengoreng laba-laba, telurnya, ulat serta capung di dapur tungku yang ada dibelakang rumah dinasku. Setelah matang, kamipun makan bersama2 didapur tungku dengan ditemani nasi dan mie prompt rebus. Menurutku laba2nya lumayan enak koq, aku menggorengnya sampai garing sehingga rasanya lumayan crispy….pokoke lumayan maknyuss lah….kecuali bagian perutnya yang rasanya agak tidak enak dibanding bagian badannya…
(tapi jangan coba-coba makan telur laba-labanya dalam kondisi mentah….coz aku pernah mencobanya dan rasanya pahit banget…terasa getir di lidah dan rasa pahitnya nempel terus dilidah, lama ilangnya….tapi kalo udah digoreng mah rasanya ngga pahit lagi…)
Buat sebagian orang katak bukanlah makanan yang ekstrem. Bahkan sudah sejak lama aku mendengar kalo katak itu makanan yang enak. Tapi seumur-umur aku belum pernah makan katak, dan baru makan katak itu ya di Mugi ini. Biasanya masyarakat sini mencarinya di sungai pada malam hari…. Mereka sendiri biasanya memasaknya dengan cara dipanggang diatas arang……dan ternyata rasanya memang enak…..aku sampe minta ke anak-anak untuk membawakannya lagi buat aku…..tambo’a ciek…. 🙂
Bentuk maupun warnanya mirip ulat sagu….itu lohh ulat yang suka ada didalam pohon sagu dan kayaknya udah sering banget diliput di tivi. Tapi kalo ulat pohon ini berasal dari dalam pohon kayu biasa (bukan pohon sagu) yang dalamnya agak lapuk…
aku dapatnya waktu ikut barengan masyarakat menggergaji pohon dihutan buat dijadiin bahan bangunan gereja. Ulatnya sendiri waktu itu kami panggang diatas bara di dapurku. Aku manggangnya bareng anak2 dan memakannya bareng2……soal rasa?? Lumayan enak lah…
Sop ayam….makanan ekstrem??? Sumpeh loo..??? kedengerannya sih biasa….lha cuma sop ayam gitu loohh…masa sih bisa dianggap kuliner ekstrem? tapi sop ayam yang satu ini memang beda, coz sop ini adalah sop ayamnya pedalaman Papua, makanya bisa masuk kategori ekstrem kuliner….hehehehe….
Ceritanya waktu itu kami abis melakukan pelayanan selama dua hari di kampung samba. Dan tim kami yang terdiri dari kepala puskesmas, mantri, kader dan aku sendiri sebagai dokternya melakukan pelayanan berupa penimbangan bayi dan balita, pemeriksaan ibu hamil, dan pemberian makanan bergizi kepada ibu hamil maupun balita berupa bubur kacang hijau dan susu.
Nah, sebagai rasa terima kasih, ada tokoh masyarakat yang memotong seekor babi dan separuhnya diberikan kepada kami. Kami diberikan daging babi yang sudah matang (dimasak secara bakar batu) dan sudah terpotong-potong dalam potongan besar. Karena mereka tahu aku tidak makan daging babi, maka merekapun memotong seekor ayam untuk diberikan kepadaku. Sambil menunggu ayamku masak, kamipun masuk kedalam sebuah honai dan mengobrol didalamnya.
Setelah beberapa waktu kemudian datanglah seorang laki-laki dengan membawa sebuah belanga. Kemudian diapun masuk kedalam honai. Rupanya belanga tersebut berisi ayam yang sudah dimasak dan akan diberikan kepadaku. Ketika belanga tersebut dibuka….terdapat seekor ayam yang utuh dan tidak terpotong-potong yang direbus bersama daun ubi….inilah yang aku sebut sebagai sop ayam pedalaman… 😀
Sop ayam pedalaman Papua… 🙂 Setelah berdoa, kamipun dipersilahkan makan…. Aduh, sungguh aku ngga nafsu liat menuku….bayangin aja, warna ayamnya aja masih standar….ngga ada warna kuning dari kunyit atau apa lah…dan dibadannya masih banyak bulu-bulu kecilnya gitu…dileher ayamnya ada bekas sayatan, jeroannya sudah dibuang dan kedua tulang kakinya patah karena sengaja dipatahkan oleh mereka (entah waktu masaknya atau waktu motongnya)…
Aku lihat orang2 puskesmasku terlihat begitu lahap dan begitu menikmati menu hidangan daging wam (babi) mereka…sedangkan aku? Sungguh, waktu itu aku sama sekali ngga ada nafsu buat makan….tapi karena aku ingin menghargai mereka, akhirnya aku terpaksa makan juga ayam tersebut…walaupun cuma sedikit. Aku ambil sayapnya, dan aku patahkan pake tangan walaupun agak susah juga matahinnya..(aku sengaja ngga pakai pisau karena pisau yang ada sudah mereka gunakan buat motong-motong daging wam). Setelah berhasil mematahkannya, akupun memakannya….
Sumpeh, aku berasa seperti kanibal…. Dagingnya ngga ada rasanya. Rupanya ketika merebus ayam tersebut mereka nggak menggunakan bumbu sama sekali. Jadi hanya rebusan ayam plus daun ubi…tanpa menggunakan bumbu sama sekali, biarpun hanya sekedar garam, masako atau kecap (mungkin karena mereka ngga punya stok kali ya?).
Well guys, please…..don’t try this recipe at residence ‘cause it is actually not good…it’s actually far-distant from “delicious”…
Akhirnya ditempat tersebut aku hanya makan bagian sayapnya. Aku bilang sama mereka kalo ayamnya mau aku bawa pulang aja ke rumah. Dan kemudian setelah sampai rumah ayam itupun aku potong2 dan aku goreng pake bumbu yang ada dirumah…. Baru deh berasa enak….
Notina dan “hileud oroknya” Itulah tadi beberapa kuliner ekstrem yang sempat aku cicipi di Mugi. Ada beberapa kuliner ekstrem lainnya yang belum aku cicipi karena memang ngga berani….diantaranya yaitu ulat daun yang berwarna hijau…(..liatnya aja udah geli..). Ulat ini berukuran cukup besar, seukuran jari telunjuk atau ibu jari orang dewasa, dan berwarna hijau. Aku ngga tau nama latin atau nama umum untuk ulat ini, tapi dulu waktu aku kecil di Bandung, aku dan temen2 menyebutnya sebagai “hileud orok”(ulat orok/bayi).
Kalo masyarakat di Nduga kadang mereka suka mencari makanan dari hutan, beberapa makanan yang mereka suka buru diantaranya kuskus, burung dan didaerah tertentu kadang mereka memburu burung kasuari. Setahu aku kayaknya kuskus dan kasuari itu termasuk jenis hewan yang dilindungi ya? (cmiiw..) Cuma ya karena masyarakat disini hidupnya dilingkungan hutan ya terpaksalah mereka terkadang harus makan makanan seadanya yang ada disekitar mereka. Kalo didistrik tertentu yang termasuk dataran lebih rendah, biasanya jenis makanannya lebih bervariasi, apalagi jika didaerah tersebut ada sungainya. Seperti yang pernah dialami temanku sesama dokter PTT Nduga yaitu dr Maulia Desrinal ketika dia bertugas di distrik Gearek. Dia pernah mendapatkan kiriman daging burung kasuari, udang dan ikan dari masyarakat ataupun hasil “molo” bersama kapusnya. Wahhhh…..liat foto2 yang dia tunjukkan ane jadi ngilerrr deh…coz udangnya tu lumayan gede2 banget, kayak udang galah gitu….secara ane kan lumayan penyuka seafood… 😀
dr. Maulia Desrinal dgn udang hasil molo-nya Yah, itulah tadi cerita tentang kuliner di Nduga. Walaupun kuliner ekstremnya ngga seekstrem di daerah Manado ataupun Tomohon (Sulawesi Utara), tapi ya lumayan ekstremlah dibanding makanan-makanan yang ada diwarung makan disekitar rumah mah…..hehehe…